Cerita Kita


Aku sedang membuka-buka draft skripsiku saat suara yang tak asing itu menyapaku,
" naila.. " aku tertegun sebentar sebelum kemudian, mengangkat muka untuk melihatnya yang sudah berdiri di depanku, dengan senyum yang terlihat dipaksakan. aku tersenyum padanya.
" iya.. ada apa rif?" laki-laki itu tampak segan, 
" emm.. ada yang ingin saya bicarakan denganmu, boleh saya duduk ?" 
" baiklah, tapi jangan lama-lama ya, saya banyak tugas" dia menganguk senang, senyum manisnya keluar dengan tanpa beban sekarang, - senyum manis yang dulu pernah sangat aku rindukan-. dia duduk, dan aku kembali menekuni draft skripsiku, ada beberapa hal yang perlu di revisi.
" emm.. naila.. "
" iya.." aku menyahut tanpa menoleh. 
" aku mau bicara sesuatu.."
" hemm, kalau mau bicara ya bicara aja kali rif.. " mataku masih asyik menelusuri coretan-coretan Pak Anang pada Bab Pembahasanku. 
" tapi kamu kelihatan sibuk, mungkin lain kali saja.."
" aku dengerin kok, ngomong aja kenapa sih.. " akhirnya aku menoleh. Arif terlihat puas karena aku tak lagi tekun dengan draftku. 
" naila.. ini tentang kita, " aku tersenyum kecil, rasanya jijik sekali mendengar kata "kita" yang baru saja keluar dari bibirnya itu.
" kita?" aku bertanya, setengah mengejek. 
" iya naila.. kita " laki-laki yang dulu terlihat sangat mengagumkan di mataku itu kini lagi-lagi mengeluarkan ekspresi meyakinkan yang pernah sangat aku percaya. 
" baiklah..baiklah.. teruskan.. "
" aku minta maaf naila.. waktu itu aku tidak bermaksud untuk meninggalkanmu, aku hanya butuh waktu untuk mempersiapkan semuanya, waktu itu aku tidak bermaksud menduakanmu dengan orang lain, aku hanya ingin membuatmu cemburu dan ya, begitulah aku masih mencintaimu sebenarnya.. "
" oh, " aku menjawab pendek, kembali membaca catatan pak anang yang ternyata masih saja ada di bagian akhir bab pembahasan skripsiku. 
" naila.. aku tidak bohong, aku memperjuangkanmu diam-diam, aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya padamu.."
" lalu?" aku masih sibuk membuat beberapa perbaikan. 
" aku ingin kita kembali seperti dulu, bersama-sama seperti mimpi kita sebelumnya.. " 
aku menutup draft skripsiku dengan kasar, dan melihatnya yang masih menatapku dengan wajah sendu yang semakin membuatku ingin muntah. 
"sudah selesai bicara?" 
"iya naila, aku sungguh-sungguh mencintaimu.. " aku tersenyum sinis, melihatnya dari atas sampai bawah dengan pandanga menghina.
"cinta katamu? ketika orang tuamu menolakku karena keluargaku yang miskin dan tidak berpendidikan, kamu dimana? kenapa kamu tidak membelaku disana? ketika aku memohon padamu untuk memperjuangkan cinta itu, kamu tidak ingat apa yang kamu katakan dulu? kamu bilang ibumu sudah menyetujui hubunganmu dengan orang lain, dengan anita, perempuan yang menjadi partner magang mu dulu, kamu bilang kamu harus menjauhiku, kamu bilang hubungan kita tidak mungkin dilanjutkan, kamu bilang aku tidak cukup memiliki cinta untukmu yang bisa kamu perjuangkan!! kamu tidak ingat itu arif? kamu tidak ingat? apa kamu pura-pura lupa? " 
" naila, aku akui aku salah saat itu, aku minta maaf.. " aku membereskan tasku dan berdiri hendak meninggalkannya ketika dia dengan tiba-tiba berlutut di depanku. 
" apa-apaan sih rif?!!" 
" aku tidak akan berdiri sebelum kamu memaafkanku dan menerimaku kembali.." 
" haha.. romantis sekali arif.."
" aku mencintaimu naila.." aku memandangnya lekat-lekat, 
" arif, kamu memang romantis tapi seorang pria tidak romantis yang bertanggung jawab jauh lebih baik bagiku daripada laki-laki romantis cengeng yang tidak tahu caranya memegang komitmen!"
" naila.. aku.. "
" aku sudah bertunangan rif! berhentilah menggangguku, berhentilah mengoyak-ngoyak hati yang pernah kau hancurkan dulu, aku sudah punya hati yang baru, hati yang tulus dan mau memperjuangkanku, "
" tapi nai.. " matanya berair, aku sering sekali melihat itu dulu dan dengan mudah luluh untuk memaafkan, tapi itu tidak mungkin berlaku lagi sekarang.
" oh ya, aku belum sempat mengirim undangan pernikahanku padamu, mungkin besok pagi, trimakasih, aku permisi dulu.." aku meninggalkannya yang masih berlutut di depan bangku gazebo Perpustakaan, hatiku lapang setelah mengatakannya, gerimis yang jatuh perlahan semakin menyejukkan hatiku yang pernah begitu kering karena kecurangannya. aku tidak mungkin mempertahankan cinta yang khianat yang tidak memberi apa-apa kecuali rasa sakit. 

dan langit tampak kembali cerah ketika senyum itu menungguku dibalik jendela mobilnya, 


Komentar

Postingan Populer