Rain Ezra



"hei, melamun lagi ya?", Aku menoleh, ia tiba-tiba saja sudah ada disini, dengan payung biru di tangan kanan dan papan sketsa di tangan kiri. Ia tersenyum, senyum hangat yang membuatku tak lagi merasa kedinginan. 
" kamu.. sedang apa?
"Hujan membuatku terinspirasi.." 
"oh, aku kira.." Aku kembali menatap tetesan hujan yang membentuk lingkaran di kubangan air di depan halte bus mungil itu.
" kamu kira apa?" 
" kamu datang karena aku disini.." 
" haha... Jangan melankolis begitu Arin, ekspresimu membuatku mual" Ia tertawa. Tanpa beban, tanpa tahu bahwa selama ini, lekuk indah di wajahnya yang membentang tawa itu telah menawanku, memenjarakan segenap rindu di hatiku. 

"tertawalah sepuasmu..." aku mencibir, seolah-olah tawanya adalah hal paling menyebalkan dalam hidupku. Ia mendesah, melirikku sekilas sebelum kemudian duduk di sebelahku dan menyandarkan kepalanya di dinding. 
" Jadi, sudah berapa lama?"  Ia kini tak lagi bersandar di dinding tapi sedikit membungkuk, mengarahkan tatapannya padaku. tepat di depanku. Aku mengerutkan dahi, pura-pura tak mengerti.
" Apanya?"
" Kamu..."
"Aku..?" 
" iya, sudah berapa lama kamu mengenalnya ? Aku kira, selama ini kamu sendiri.." Suara yang tadinya terdengar ringan dan menyenangkan itu kini terasa berat, ada sesuatu yang tertahan disana, sesuatu yang tidak dapat aku cerna maknanya. Ah, entahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja. 
"..." Aku masih diam, bergelut dengan percakapan aneh di pikiranku, otakku dipenuhi suara-suara kegembiraan yang silih berganti menghadirkan kenangan bertahun-tahun silam. 
" Arin..." 
" iya..?" 
" Kamu belum menjawabku.."
" ah, iya.. entahlah, aku tidak terlalu yakin, mungkin baru dua atau tiga bulan ini, waktu itu di sebuah pameran botani di Bandung.." 
" wah.. sebentar sekali ya.." Nada suaranya lebih terdengar seperti sebuah penyesalan daripada kalimat pertanyaan. 
" Iya begitulah,kadang jodoh memang datang lebih cepat dari yang kita kira.." Aku tersenyum, melempar pandanganku ke seberang jalan. 
" Aku minta maaf...."
" Maaf? untuk apa?" Aku bertanya datar, tanpa menoleh padanya. 
" Maaf karena aku tidak menemuimu saat itu, " Aku tersenyum tipis, mengingat satu hari dimana hatiku teriris-iris. satu hari dimana mataku sembab oleh tangis. 
" Aku hampir ketinggalan pesawat karena menunggumu, " Aku menerawang jauh ke  belakang. 
" Maaf Arin.."
" Kamu janji akan datang, kamu berjanji memberiku jawaban..." 
" Aku ... " Aku menghela nafas, berat sekali rasanya. Peristiwa tujuh tahun silam itu, seolah-olah baru terjadi kemarin siang. 
" Sudahlah Ezra, aku bersyukur kamu tidak datang, setidaknya aku tahu siapa orang yang seharusnya aku sayang.." Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya aku katakan, ketegaran kah? atau keputusasaan?. Aku beranjak dari bangku tunggu, berdiri di pintu koridor halte. menengok ke jalan besar yang terlihat lengang dengan satu dua kendaraan, yang melaju kencang di derasnya hujan sore ini. Mencoba mengalihkan pikiranku dari kesedihan bertahun-tahun silam yang terus saja menghantuiku bagai mimpi buruk.
"Aku berhutang penjelasan padamu, Arin.." Aku hampir tak bisa mendengarnya, ia seperti tidak berbicara, hanya mendesah. 
"Aku sedang menunggunya, entah mengapa dia lama sekali, tidak biasanya begini.." Aku mengacuhkannya, berbicara seolah ia tak pernah mengatakan apa-apa. 
" Arin..."
Aku menoleh, menatapnya dengan pandangan kesal, amarah yang selama ini aku kubur dalam-dalam kini seperti bangkit begitu saja. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana perasaanku kini, bertahun-tahun aku mencoba sekeras mungkin untuk melupakannya, menganggap tidak pernah ada apa-apa. lalu sekarang, dia dengan mudahnya menguak luka.
" Lalu, apa gunanya kau mengatakan itu sekarang?, tidak ada Ezra.. tidak pernah ada gunanya" 
" Arin, kamu memang harus memarahi aku seperti ini.. " dan laki-laki tidak tahu diri yang pernah (atau masih?) aku cintai itu kembali tersenyum, senyum menyenangkan. 
" kamu, laki-laki paling tidak berguna yang pernah aku temui Ezra..."
" Laki-laki yang menunggumu menoleh ke belakang, berharap kau melihatku di ujung gerbang.. kau berlalu di balik pintu itu, dan hilang..."
" Jika kamu memang disana, lalu kenapa, kau bahkan tak menemuiku? atau sekedar memanggil namaku agar aku berbalik dan bisa melihatmu?" Jantungku mulai berdetak lebih cepat dari yang bisa aku perkirakan sebelumnya. Melihatnya berdiri di depanku dengan tatapan tajam yang mengisyaratkan kesedihan, membuatku menjadi melankoli.
" Aku mencintaimu Arin, sejak pertama kau menawarkan payung birumu padaku saat gerimis di hari pertama kita sekolah, ketika tak satu anak pun peduli pada keberadaanku.. " Laki-laki itu, si kerempeng dengan kacamata besar, anak baru di SMP kami dulu. Iya, disanalah kami bertemu. 
" Ezra.." 
" Kau merubahku jadi Ezra yang baru... kau tahu Arin, empat belas tahun adalah waktu yang lama, tapi tidak cukup lama untuk aku bisa menggantikan tempatmu di hatiku.."
" Tidak Ezra.. tidak ada gunanya.." Aku menggeleng, mencoba mencegahnya mengatakan lebih banyak hal yang akan membuatku semakin ragu dan bimbang. 
" Ayahmu memanggilku di kantornya pagi itu, dia memintaku untuk tidak datang ke bandara karena kehadiranku hanya akan membuatmu ragu untuk pergi... " 
"Kamu hanya mengada-ada Ezra... "
"Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan Arin, aku sungguh ingin datang menemuimu tapi aku tidak punya cukup keberanian untuk melakukannya.. aku takut ayahmu benar, tapi aku juga takut kehilanganmu, aku takut kau mengira aku membohongimu.." Ezra mengatakannya dengan sungguh-sungguh, dan aku tahu benar siapa ayahku. 
" Hentikan Ezra.. semuanya tidak akan berubah.." 
" Aku tahu Arin, aku tidak berharap merubah apapun, aku hanya ingin menyelesaikan apa yang seharusnya aku selesaikan sejak dulu... ". Aku merasakan mataku perih, ada sesuatu yang mendesak ingin keluar, sesuatu yang membuat bibirku bergetar dan dadaku berdegup kencang. 
" Kamu pengecut Ezra.. seandainya kau mengatakan ini sejak dulu.."
" Kamu tidak akan menjadi seperti ini Arin.. ayahmu benar, jika aku datang hari itu, mungkin kamu tidak akan pergi, Ayahmu tidak ingin kau berakhir dengan seorang seniman pengangguran sepertiku... " Ia kini menunduk, mengambil sesuatu dari balik tas punggungnya. Sebuah buku, entahlah, aku tidak tahu itu apa. tapi ia mengulurkannya padaku. 
" Apa ini?" 
" Kado pernikahanmu, aku tidak mungkin bisa datang.." tanganku bergetar, tangisku tumpah. Aku benar-benar ingin menjerit sekarang, 
" Tidak Ezra.." 
" Maaf, aku tidak bisa memberimu barang yang berharga, hanya coretan tangan dan beberapa hal tentangmu yang aku kumpulkan untuk sedikit mengobati rasa rinduku selama ini.." Ia tersenyum, lagi dan lagi. Sedangkan aku masih bergeming disana dengan hati yang kembali terluka. Ezra berlalu, menerobos hujan, menuju jalan setapak dan hilang di tikungan. 

***
Hujan kembali menyisakan perih, 
Ezra tak pernah lagi kembali, 
Dia bahkan tidak  memberiku pilihan, kecuali melupakan,
Melupakan setiap detik yang aku lewati dengan senyum indahnya, 
dan Menjalani takdir, yang mengharuskan aku tak bersamanya, 



Ezra, dalam hujan 26 november 2014




Komentar

Postingan Populer