Kehilangan Masa muda

Aku mungkin tipe orang yang serius dan pemikir. Tidak terlalu suka bersenang-senang dan hangout bersama-sama kawan sekelas dulu pas kuliah. Penyebabnya mungkin karena dana bulanan yang terbatas dan atau rasa tidak pede ketika main bareng mereka yang gaul, keren dan beratribut wah untuk kalangan mahasiswa seperti aku.
Whatever intinya, aku tidak banyak bersenang-senang. Aku tidak punya semacam KB (kelompok Bermain). Atau semacam HS (hangout society). Apa hal itu membuatku bersedih? Dulu mungkin tidak. Aku memiliki kelompok lain. Misalnya kelompok taklim di IMM (ikatan Mahasiswa muhammadiyah), atau pengajian mingguan di GENQ (Generasi Qurani). Atau beberapa kawan main teater di TL (Teater Langit).


Namun semua kegiatan itu banyak berubah dan mulai aku tinggalkan sejak aku memutuskan untuk menikah pada akhir semester 5 atau awal semester 6. Iya, satu tahun sebelum aku lulus. Aku sejujurnya mulai merasa terasing. Aku tinggal jauh dari basecamp (atau kos-kosan sederhana) yang aku tinggali bersama kawan-kawanku dulu. Aku diharuskan untuk tinggal di ujung kota bersama mertua atau bahasa kerennya PIM (Pondok Indah Mertua). Aku mulai disibukkan dengan remeh temeh pekerjaan rumah dan dianjurkan untuk bersosialisasi dengan ibu-ibu rumah tangga lainnya.  How a different life.      
Aku seketika merasakan gegar sosial. (Atau budaya?) terlebih saat melewati masa-masa pancaroba tersebut aku sedang berada sendiri tanpa suami. Bayangkan saja betapa untuk kurang lebih 1 tahun pertama dalam pernikahan "muda" ku aku menjadi single fighter. Dan selama satu tahun terakhir di masa-masa mahasiswa aku kehilangan sedikit keasyikan perasaan menyenangkan menjadi mahasiswa.


Pikiranku mulai terbelah antara tugas kuliah dan tugasku sebagai istri.
Aku beberapa kali harus bolak-balik Bengkulu malang. Atau Malang-Jakarta-bandung-Tangerang untuk lagi-lagi memenuhi tanggung jawab yang sudah aku pilih untuk aku tanggung sendiri.
Konsekuensinya? Perlahan aku mulai tersingkir dari banyak lingkaran pertemanan. Aku mulai kesulitan menemukan kawan yang mau aku ajak jalan-jalan dan mau mengajakku jalan. Sedih memang.
Biasanya di lingakaran Teater Langit ada diklat tahunan yang senang aku ikuti. Tapi karena berbenturan dengan jadwalku yang harus terbang ke Bengkulu maka aku tidak bisa ikut. Aku juga tidak bisa lagi turut serta ketika ada Darul Arqom IMM dan acara Rihlah ke Pantai yang biasa diadakan Genq. Semua acara dan kegiatan menyenangkan yang dulu menjadi favoritku dan sebagai penegas eksistensi ku di suatu perkumpulan, akhirnya terlepas satu-persatu. Suatu konsekuensi yang mungkin tidak terpikir olehku sebelum memutuskan untuk menikah dulu.
Lalu sekarang, aku sudah bekerja di sekolah swasta dan kembali masuk dalam lingkaran ibu-ibu pekerja. Ada yang umurnya sebaya denganku, ada yang beberapa tahun lebih tua. Tapi tidak ada yang lebih muda. Aku mulai merasa akrab dengan satu sama lain. Hingga saat kami mulai saling bercerita tentang masa-masa muda dulu, ada kawan yang menyeletuk tentang aku yang "kehilangan masa muda" karena menikah terlalu cepat. Benarkah demikian adanya? Aku menyangkal kuat-kuat prasangka itu. Menjelaskan hal-hal menyenangkan yang aku lewati semenjak aku menikah, berapa tempat yang aku datangi, dan betapa serunya bolak-balik naik pesawat seperti pejabat (Hahahaha).
Lantas apa intinya tulisan ini? Hikmahnya sederhana, apapun pilihan yang kita ambil di dunia pasti memiliki konsekuensi. Semua keputusan menghadapkan kita pada satu jalan keluar dan satu pengorbanan. Keputusan saya untuk menikah di usia yang bagi sebagian orang masih sangat muda (20 th saat itu) memberikan saya jalan untuk menjaga kehormatan dan kesucian saya sebagai perempuan. Di sisi lain saya memang harus merelakan waktu saya tersita tidak hanya untuk kuliah tapi juga untuk membangun pondasi rumah tangga. Yang dulunya saya memiliki banyak waktu luang untuk bersosialisai dengan teman, harus dialihkan untuk membangun keakraban dengan keluarga yang baru dan mempelajari hal baru untuk menjadi seorang ibu.
Memang, saya harus merelakan satu tahun terakhir masa kuliah saya (atau masa muda?) demi mendapatkan tahun-tahun panjang bersama teman hidup yang memberi ketentraman. Dan saya kira, itu sepadan. Terlebih saat saya mulai pindah ke kota baru bersama suami, ada begitu banyak orang yang menganggap saya beruntung. Di usia yang muda dengan wajah yang biasa saja sudah menikah dengan lelaki yang merek anggap "limited edition". Saya hanya tersenyum dalam syukur.
Jadi intinya, pastikanlah kamu tidak mengorbankan hal berharga untuk sesuatu yang tidak memberikanmu faedah yang jauh lebih mulia. Banyak orang yang mengorbankan diri pada kesia-siaan, jadi pastikan anda, kita semua hanya membuat keputusan yang memberi manfaat jangka panjang, bukan hanya sesaat.

Komentar

Postingan Populer