Gerbang rindu

Satu hari, tepat saat kamu bilang akan pergi. Aku hanya terpaku dalam sedih yang tak terungkap. Aku tak bisa lagi mencegahmu berlari. Aku tak mampu untuk memintamu tetap tinggal disini. Aku hanya bisa melihat punggungmu berlalu.

Itu hari terakhir kita bersua. Di suatu senja di depan pintu kos ku yang bersahaja.
Setelahnya, ada hari-hari sepi yang menyiksaku dengan sakit tak terperih. Aku rindu. Sekedar melihatmu dari jauh pun, aku mau.
Tapi kamu benar-benar pergi. Menghilang bagai lenyap di telan bumi.

Andai kamu tahu, setiap pagi menjelma di ufuk timur sana. Aku merelakan kaki ku berjalan lebih jauh menuju kampus kita. Aku sengaja melewati jalan tikus menuju fakultasmu agar supaya kita dapat bertatap muka. Tapi kamu tak pernah ada. Ribuan mahasiswa berjalan di sana setiap paginya, dan entah mengapa sehari pun aku tak pernah melihatmu berkelebat disana. Sekali saja, tak pernah. Seolah engkau sengaja bersembunyi.

Perlahan aku meyakini, engkau mungkin hanya mimpi. Yang sempat menghinggapi tidurku beberapa hari. Menambat hatiku yang sekarat. Aku mungkin hanya berimajinasi tentangmu. Kamu mungkin tidak pernah nyata. Iya, semua kenangan manis itu mungkin cuma fatamorgana.

Namun, semakin aku meyakini hal itu. Khayalan tentangmu semakin membatu di hatiku. Seolah mengukir prasastinya sendiri. Tepat di pusat pikiranku.

Aku patah, berkeping-keping.
Luka ini, tak pernah benar-benar mengering.

Komentar

Postingan Populer