Pertemuan

Bandar udara memang tempat yang tak pernah sepi. Aku memandangi satu per satu orang yang lalu lalang melewati karpet biru yang baunya masih baru. Aku mendesah lantas mengambil tempat duduk tak jauh dari jendela besar berbentuk asimetris yang sangat menarik. Rintik gerimis terlihat syahdu saat terjatuh diluar. Aku merasa terhisap dalam memori. Gerimis dengan lagu sendu yang diputar di sepanjang ruang tunggu membuatku sempurna mengenang hal usang.
Aku masih menunggu seseorang saat aku melihat lelaki itu berjalan menuju ke kursi di dekatku. Ini memang bukan kursi pribadi. Setiap orang dapat menempatinya secara free.
Aku melihatnya dan ia menatapku dalam diam. Ia perlahan meletakkan tas yang tergantung di bahunya ke kursi. Aku menahan nafas. Aku merasakan debar halus memenuhi rongga dadaku. Aku mengalihkan pandangan ke Langit di luar sana yang tampak semakin kelabu.

"Heba? Kau kah itu?". Aku menoleh. Alis matanya yang tertaut tebal belum lagi lekang dari ingatanku meski ratusan hari sudah berlalu. Ia tidak tersenyum. Aku terdiam. Tak tahu jawaban seperti apa yang harus aku berikan dan akhirnya aku hanya mampu mengangguk pelan.
"Iya..".
"Masih ingat aku?". Ia bertanya, lagi. Seolah ingin mengejekku yang tidak mampu melupakannya hingga saat ini.
"Ya..".
"Ah, syukurlah. Bagaimana kabarmu?". Ia bertanya seperti tidak pernah memiliki dosa, kepadaku.
" Jauh lebih baik dari terakhir kali kita bertemu.." lalu hening. Gerimis di luar berganti hujan. Sesekali terlihat kilatan petir. Aku ingin beranjak menjauh, tapi ada sudut hatiku yang memintaku untuk tetap disana. Ada tanya yang selama ini berputar-putar di kepalaku.
"Aku ingin bertanya sesuatu padamu". Kali ini ia menegakkan punggungnya, menatapku dengan tatapan itu.
"Oh ya? Kebetulan sekali aku juga memiliki satu pertanyaan untukmu".
Ia tampak tidak terkejut.
"Baiklah, ladies first.. silahkan". Aku menggeleng.
"Tidak, mungkin pertanyaanmu dapat menjawab apa yang selama ini ingin aku tanyakan.".
"Oh, kamu pikir begitu?". Aku mengangkat bahu sedikit.
"Siapa tahu". Ia seperti tersenyum, tapi tidak benar-benar tersenyum.  Bola Matanya berputar ke atas. Seperti mencari jawaban pada langit-langit tinggi di atas kami. Tapi sepertinya ia tak menemukan apapun hingga Akhirnya ia kembali melihatku.
" Aku penasaran, bagaimana mungkin kamu bisa melupakanku begitu cepat? Bahkan purnama saja, baru berganti setiap tiga puluh malam, tapi hatimu, bisa terisi lebih cepat dari itu. Aku benar-benar tidak menduganya".  Aku terkesiap.
" Jadi, kamu mengira aku akan menangisimu sepanjang musim?" Ia kini melemparkan tawa hambar.
"Bukan seperti itu maksudku, aku hanya, ah sudahlah. Kamu tidak akan mengerti"
"Kamu memang terlalu rumit untuk dimengerti". Aku menyahut pelan.
Tapi nampaknya lelaki disampingku ini masih bisa mendengarnya, jadi ia memicingkan matanya padaku.
" Oh ya? Menurutmu aku serumit itu?".
Aku tersenyum sinis.
"Ya. Bahkan sampai detik ini pun aku tidak pernah mengerti kenapa kamu memilih meninggalkan aku malam itu. Kamu tidak pernah memberiku jawaban yang pasti. "
"Jadi pertanyaan itukah yang masih menggantung di hatimu? Kenapa aku pergi?". Aku tidak menggeleng, tidak juga mengangguk.
"Heba?". Aku akhirnya menoleh dengan memasang ekspresi tidak suka.
"Apa lagi?".
"Itukah yang ingin kau tanyakan padaku?".
"Iya, lima menit yang lalu pertanyaan itu masih berputar di kepalaku bagai naga hidup yang kelaparan. Tapi sekarang tidak lagi. Aku pikir apa gunanya aku menanyakannya padamu sekarang. Semuanya akan tetap seperti ini." Aku seperti berbicara kepada diriku sendiri. Bukan padanya, bukan pada lelaki itu.
"Aku akan menjawabnya setelah kamu memberiku jawaban untuk pertanyaanku..".
"Sayangnya, aku tidak lagi membutuhkan jawaban darimu".
"Tapi aku membutuhkan jawabanmu. Bagaimana bisa hatimu berpaling begitu cepat sedangkan aku saja butuh belasan purnama untuk memalingkan ingatanku darimu."
"Sudahlah, Bumi. Kita hanya mengikuti jalan cerita takdir. Pada akhirnya kita sudah tahu kalau takdir kita tidak bertemu. Apa yang terjadi malam itu dan apa yang terjadi setelahnya. Semuanya sudah dituliskan"
"Itukah jawabanmu?".
"Ya, seperti itulah bumi. Semua jawaban yang kita cari pada akhirnya berlabuh pada keputusan Tuhan." Aku tidak melihatnya, aku hanya menengadah menatap langit langit ruang tunggu. Menahan air mata yang hendak jatuh. Perasaan ini entah mengapa tidak pernah benar-benar berubah. Apa yang aku katakan tidak sepenuhnya selarasa dengan apa yang sebenarnya aku rasakan.
Kami dirundung senyap. Terhanyut dalam putaran hening dalam pikiran masing-masing. Seandainya saja, ya kata-kata itu kini berkeliaran di otakku. Aku menepisnya. Seandainya malam itu dia tidak meninggalkanku, maka belum tentu juga di malam yang lain, ia tidak akan pergi bukan?. Aku bertanya pada hatiku. Ah bukan, aku menanyakannya pada segumpal penyesalan yang masih saja tumbuh di sudut asa. Tempat dimana sejumput mimpi kami masih terukir disana. 

***

Komentar

Postingan Populer