Rantang Sahur


Alifah terbangun, waktu sahur sudah datang. Ia mendengar hiruk pikuk di sekitarnya. Ah iya, ia sedang tidak di rumah sekarang. Ia berada di sekolah. Ada program pondok romadhon untuk kelas 4 sampai 6 selama dua hari satu malam yang harus ia ikuti. Alifah kecil baru duduk di kelas 4 sd. Jumlah siswa putri di sd kecil mereka tidaklah banyak. Hanya 15 orang saja, jadi mereka ditempatkan dalam satu ruang kelas besar yang disulap menjadi ruang tidur dadakan dengan karpet seadanya. Tak mengapa, semua orang senang. Alifah juga senang.


Ia melihat sudah banyak teman sekamarnya yang duduk di bangku sekolah yang sementara ini berfungsi sebagai meja makan. Makan sahur mereka diantarkan oleh orang tua masing-masing. Alifah mencari cari kelebatan emaknya. Ia yang masih diserang kantuk berjalan gontai ke depan kelas, menunggu emaknya yang mungkin mengantar makan sahur. Alifah melihat satu per satu tetangganya datang mengantar makan sahur anak mereka, alifah bertanya apakah ada yang melihat emaknya?. Tapi merek menggeleng. Alifah mulai cemas, waktu sahur sudah hampir habis. Ia kini merasa kesal, mungkin emaknya telat bangun kali ini. Alifah hampir saja menangis, kawannya Eni mengajaknya sahur bersama. Lauk milik Eni sangat menggoda, potongan ayam besar dan tahu yang dimasak bumbu bali. Alifah lapar, tapi ia malu. Ia menahan saja laparnya dan menggeleng.
"Emak pasti datang sebentar lagi en, terimakasih banyak". Ujarnya pelan. Ia sebenarnya tidak yakin dengan jawabannya, tapi sudah terlanjur. 

Satu per satu kawannya telah menyelesaikan sahur mereka, tapi Alifah masih menunggu di depan kelas. Ia mencari cari ke jalan raya, siapa tahu emaknya sedang berjalan lambat dan ia akan menyusulnya. Tapi Alifah tidak bisa melihat apa-apa karena jalanan begitu gelapnya. Jalan desa mereka memang belum tersentuh lampu-lampu seperti di perkotaan.

Alifah tertunduk lesu, ia putus asa, kawannya sudah beranjak mengambil wudhu. Ia masuk saja ke kamar dengan air mata yang siap tumpah tapi tanpa disangka namanya dipanggil dari kejauhan. Alifah menoleh senang, itu suara emaknya!. Seorang perempuan paruh baya tergopoh mengayuh sepeda jengki tua dengan menenteng kresek hitam. Alifah menyambutnya.
"Emak kemana saja? Alifah lapar mak..". Emaknya, perempuan penyabar dengan wajah tua yang teduh itu menatapnya dengan sayang.
"Maafkan emak nduk, emak bangunnya terlambat.." Ia sedang berbohong, tapi alifah tidak tahu. Ia buru-buru menyerahkan kresek berisi rantang sahur kepada anaknya. Alifah menerima dengan suka cita, berharap mendapatkan makanan enak seperti milik Eni. Tapi wajahnya berubah masam. Rantang itu hanya satu, isinya hanya telur ceplok dan mi goreng. Bibirnya maju ke depan.
" kok cuma mi dan telur, mak?". Alifah merajuk.
"Sudah dimakan saja, emak tadi buru-buru jadi tidak bisa masak ayam..". Jawabnya pelan, ia kembali berbohong. Alifah dengan wajah cemberut langsung masuk saja ke ruang kelas, ia lupa mengucapkan terimakasih. Emaknya melihat punggung gadis kecilnya hilang di balik pintu.
Ada bulir bening yang mengambang di pelupuk matanya. Ia pulang dengan perut kosong, sejak malam tadi ia belum makan. Pagi buta ia terbangun karena bingung akan mengirim sahur apa kepada anaknya. Beras di lumbung sudah habis, tak ada uang sepeser pun ditangan. Ia berjalan kesana kemari mengetuk pintu rumah tetangganya yang berjualan kelontong. Dengan rasa malu yang ditahan, ia kembali meminta berhutang. Kali ini, hanya sebutir telur dan sebungkus mie untuk alifah.
Satu dua toko menolaknya.
"Sampeyan sudah sering berhutang, yang kemarin itu belum lunas". Begitu jawab mereka, duhai sedih sekali hati emak. Waktu sahur sudah dekat, ia kembali mengetuk pintu toko kelontong di ujung jalan besar. Syukur Alhamdulillah, pak haji baik hati itu masih mau memberikannya pinjaman sebutir telur dan sebungkus mi.  Setelah berterimakasih dan berjanji akan segera membayar saat musim panen tiba, ia segera pulang ke rumah mereka yang sederhana.
Dinyalakannya tungku kayu, dimasaknya telur dan mie bungkus itu dengan hati-hati. Ia tak mau ada sepotong mie pun yang tercecer. Ingin rasanya dicicipinya mie bungkus untuk alifah, tapi rasa keibuan membuatnya tidak tega. Biarlah Alifah yang makan, asal putri kecilnya kenyang, tiada masalah ia lapar. Ia sudah merasa kenyang dengan bau sedap mie bungkus yang dicampur dengan bumbu-bumbunya. Hatinya gembira, akhirnya rantang sahur Alifah terisi.

Emak Alifah bukan janda, suaminya masih hidup tapi pergi merantau dan tak ada yang tahu kabar beritanya. Emak alifah yang sebatang kara mengurus sendiri Alifah dengan kakak-kakaknya yang kini sudah pula merantau ke kota. Tinggallah ia dan Alifah. Ia hanya bisa menjadi buruh tani, saat musiim tanam padi, ia bekerja siang malam. Tapi tak juga dapat menyimpan uang untuk masa tunggu panen yang sepi pekerjaan.

Emak Alifah sampai di depan rumah mereka, perutnya kembali melilit dan perih minta di isi. Tapi Adzan subuh sudah berkumandang, ia pun tak lagi punya makanan. Emak Alifah kembali berpuasa.
***
Alifah tidak menghabiskan mie di rantang, ia tidak merasa berselara. Hanya dua sendok mie dan sepotong kecil telur yang dimakannya. Ia masih ingin makan ayam bumbu bali milik eni. Tapi Eni sudah pergi ke Masjid. Alifah pasrah, dimasukkannya rantang yang masih penuh itu ke kresek. Ia tidak tahu, emak Alifah menahan lapar hanya untuk serantang mie yang ia sia siakan.

Bengkulu, 15 februari 2016

Komentar

Postingan Populer